Unescaped-Me
Pan's Personal Blog
Sepakbola, Juventus, dan Piala Eropa 1996

Juni 1996, saat itu saya masih duduk di bangku SD. Liburan panjang kenaikan kelas. Seperti biasa, waktuku dihabiskan bersama Nintendo, dari bangun pagi sampai malam menjelang tidur. Kebersamaanku dengannya hanya terpisahkan saat mandi sore hari. Saat makan? Saya tetap makan di depan layar TV sambil bermain Nintendo tentunya. Tak seperti anak-anak lain memang, saya lebih suka main di dalam rumah. Tapi kurasa tak sedikit juga yang sepertiku.

Pagi itu, sekitar pukul 8 atau setengah 9, seperti biasa pengantar koran datang menggunakan motor. Ayahku berlangganan Pikiran Rakyat. Jam segitu, beliau masih ada di rumah. Tentu saja, ayahku seorang wirausaha yang nyaris tiap hari 24 jam ada di rumah. Saya sedang asyik dengan Nintendo sampai terdengar suara ramai ayahku dan kakak laki-lakiku yang pertama. Kutinggalkan Nintendonya.

“Ada apa sih?” tanyaku dalam hati sambil bergerak menghampiri mereka.

Oh, ternyata ayah juga membeli tabloid Bola. Di halaman tengahnya, ada jadwal lengkap Piala Eropa 1996 atau biasa disebut Euro 1996. Mereka sibuk membicarakannya. Tiap negara, pemain-pemain bintang, prediksi final, sampai negara jagoan mereka.

“Jagoan papa sih Belanda!” kata ayahku.

“Ah pasti Itali yang jadi juaranya!” kakakku tak mau kalah.

“Atau kalau engga ya Inggris, soalnya mereka kan tuan rumah,” lanjut ayahku.

“Kamu apa, Pan?” tanya kakakku tiba-tiba.

Uh, kebingungan saya dibuatnya. Saya ga pernah benar-benar nonton bola sebelumnya. Hanya melihat sekilas saja. Meski saya suka juga main bola di sekolah atau main Soccer di Nintendo. Kuperhatikan satu-persatu bendera tiap-tiap negara. Ada 16 negara di sana.

“Eh.. Jerman!” jawabku mantap.

Dari sekian banyak negara yang ada di sana, Jerman yang kupilih. Kenapa Jerman? Karena benderanya. Haha.. ya, hanya gara-gara warna bendera. Menurutku keren. Perpaduan warna hitam, merah, kuning. Unik dan mencolok. Maklum, anak SD masih suka yang ngejreng kan? Terutama merah atau biru.

Sejak saat itu, saya jadi ‘gila bola’. Pertandingan demi pertandingan Euro 1996 yang disiarkan RCTI, kutonton satu-persatu. Meski ga semuanya juga sih. Yang dini hari gimana, yang sekitar jam 2 itu? Ya saya tonton juga, dari sejak kecil saya sudah terbiasa begadang. Jangankan jam 2, main Nintendo aja bisa sampai jam 6 atau jam 7 pagi, pokoknya sebelum yang lainnya bangun. Parah juga ya, haha. Emang boleh yah masih kecil begadang? Boleh donk, keren kan orangtuaku, hehe.. Sebenarnya kalau main Nintendo sampai pagi sih suka dimarahin, tapi kalau waktu nonton Euro ga apa-apa.


Singkat cerita, Jerman pun akhirnya berhasil menjadi juara Piala Eropa 1996. Kebetulan? Tebakan yang beruntung? Mungkin. Insting anak kecil? Mungkin juga. Takdir? Bisa jadi. :D Toh dengan begitu saya jadi antusias mengikuti Piala Eropa dari awal sampai akhir, karena Jerman ga pernah tersingkir. Hal yang benar-benar membuat saya jadi ‘gila bola’ saya rasa. Jika ditanya pemain idola saya yang pertama, jawabnya adalah Andreas Koepke. Penjaga gawang timnas Jerman saat itu.



Liga Italia dan Juventus


Piala Eropa berakhir. Tak ada lagi sepakbola di TV. Kubaca tiap hari koran Pikiran Rakyat, hanya berita sepakbolanya saja. Biasanya ada lembaran khusus olahraganya seminggu sekali. Di hari Rabu kalo ga salah. Sekali-sekali juga minta dibelikan tabloid Bola yang dulu terbit di hari Kamis. Saya jadi lebih tahu tentang sepakbola. Pemain-pemainnya, klub-klubnya, dan liga yang sangat populer saat itu, Liga Italia Serie A.

Beberapa bulan kemudian, RCTI menayangkan kembali sepakbola. Ya, Liga Italia. Serie A. Pertandingan ditayangkan sekitar jam 8-9 malam di hari Minggu. Namun antusiasme terhadap tayangan sepakbola sudah jauh berkurang sebenarnya. Pertama, karena pengaruh orang-orang sekitar. Tidak ada lagi demam bola seperti sebelumnya di Euro 1996. Orang-orang sepertinya biasa saja menanggapi siaran langsung sepakbola. Kedua, karena tidak ada Liga Jerman. Tidak ada Andreas Koepke. Yang ada hanya Liga Italia di RCTI atau Liga Inggris di SCTV. Belum lagi saya sudah mulai masuk sekolah. Berbulan-bulan ga nonton sepakbola lagi di TV juga ikut mempengaruhi.

Suatu hari, kunyalakan televisi. Kusaksikan satu tim dengan baju garis-garis hitam dan putih sedang bertanding. Awalnya biasa saja. Sampai seorang pemain benomor punggung 8, dengan ban kapten melingkari tangannya, menggiring bola di tengah lapangan. Bola dioper ke kawannya, tapi dengan cepat dioper kembali kepadanya. Umpan 1-2 yang cepat mengecoh pemain lawan. Bola kembali dioper ke kawannya, kali ini bola diteruskan ke depan kepada kawannya yang lain, sementara sang kapten terus berlari ke depan mendekati kotak penalti lawan. Kawannya yang baru saja menerima bola melakukan backheel – bola ditendang ke belakang dengan menggunakan tumit. Bola kini kembali ke sang kapten. Sedikit digiring ke dalam kotak penalti. Dan.. tendang! Bola melesat menuju gawang. Melenceng. Tendangannya masih melebar ke sisi kiri gawang. Tapi pergerakan tanpa bola dan operan-operan pendek nan cepat yang diperagakan membuatku kagum. Terkesima.

Antonio Conte, nama sang kapten yang baru saja membuatku kagum. Tapi tak hanya dia. Ada Del Piero, pemain muda yang terlihat pendek tapi lincah menggiring bola dan sering melakukan tendangan-tendangan indah ke gawang. Zidane, dengan rambut yang botak di bagian ubun-ubunnya, memiliki umpan-umpan akurat mematikan dan suka menunjukkan aksi-aksi menawan. Ferrara yang tenang, Montero yang garang, dan Peruzzi, seorang penjaga gawang yang tak kalah hebatnya dengan Koepke. Tapi yang paling kusukai adalah Di Livio, pemain bernomor punggung 7, yang terus bergerak berlari tanpa terlihat lelah. Terlihat lebih kecil dan pendek dibanding Del Piero, dan memakai armband putih atau hitam di tangannya.


Il Soldatino – Si Prajurit Kecil, begitulah julukannya. Angelo Di Livio menjadi idola baru bagi saya. Permainannya sangat mirip dengan Vidal atau Lichtsteiner di masa kini. Atau mungkin gabungan keduanya. Ia terus berlari maju-mundur menyisir lapangan dan juga melakukan tekel di sana-sini. Julukannya menggambarkan dirinya dengan tepat.


Sejak saat itu, saya menjadi Juventino – seorang fan/penggemar Juventus. Musim 1996/1997 sendiri berakhir cukup baik. Juventus bisa meraih Scudetto atau juara Liga Italia Serie A. Di Liga Champions, Juventus ‘hanya’ berhasil menjadi runner-up. Juventus juga meraih gelar juara dunia, dulu dinamakan Piala Intercontinental atau Piala Toyota. Dan inilah skuad Juventus di musim 1996/1997.

Baris atas: Amoruso, Ferrara, Torricelli, Iuliano, Vieri, Boksic, Zidane, Tacchinardi, Porrini
Baris tengah: Ametrano, Pessotto, Jugovic, Padovano
Baris bawah: Montero, Di Livio, Deschamps, Rampulla, Peruzzi, Falconi, Conte, Del Piero, Lombardo
Next
Newer Post
Previous
Older Post